SELAMAT DATANG DI LAMAN LP2M UNU SURAKARTA

Selasa, 02 Oktober 2018

Pemilu dalam Membentuk Partai dan Kader Politik Berkarakter Positif

Ejurnal UNISRI vol 23 no 1 tahun 2017
Oleh:
Ian Aji Hermawan, SH, MH

ABSTRAK
Buruknya proses pengaderan dalam sebuah partai melahirkan kader-kader yang pragmatis serta oportunis, yang mana kader-kader tersebut kurang mampu membaca kebutuhan dan keinginan masyarakat. Para kader lebih sibuk untuk memenangkan dirinya dalam suatu pertarungan politik, yaitu pemilu, dibandingkan memahami persoalan masyarakat yang sesungguhnya. Maka, tidak heran menjelang pemilu banyak bermunculan kader partai politik, baik kader partai murni maupun kader karbitan (kader yang baru muncul karena ada pemilu). Konflik-konflik yang terjadi di internal partai politik sering kali disebabkan oleh senioritas otoriter pimpinan, artinya partai tersebut lebih mengutamakan kader yang lebih dahulu aktif yang boleh berkiprah tanpa melihat kompetensi. Kader yang baru masuk atau baru sebentar berproses di partai politik tidak diizinkan untuk berkiprah. Namun, ada pula partai politik yang menggunakan cara instan untuk mendapatkan kader, yakni orang yang dianggap memiliki modal atau materi lebih dapat langsung menduduki posisi strategis dalam sebuah partai politik. Perkembangan politik di Indonesia mengalami fase kemunduran, yang mana sekarang untuk memenangkan dalam sebuah pemilihan umum seorang kader yang dicalonkan oleh partai politik dalam berkampanye lebih sering menggunakan politik identitas, yakni berkampanye dengan cara menyerang lawan politiknya dengan menggunakan isu SARA. Menurut Lukmantoro (2008: 2), politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingankepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, gender, maupun keagamaan. 
Kata kunci: pengaderan, konsistensi, filosofi, ambigu, pragmatis
Selengkapnya di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar